Selasa, 15 Januari 2013

Kisah Tukang Becak Jujur Dari Surabaya

Filled under:



Siapa yang tak tergiur dengan tumpukan uang, atau barang-barang mewah. Tak peduli halal atau haram, jika ada kesempatan di depan mata, entah milik siapa, hasrat ingin memiliki selalu muncul dengan tiba-tiba. Tapi tidak bagi Mat Choiri, si pengayuh becak asal Surabaya, Jawa Timur ini.

Bagi bapak dua anak ini, mencari rezeki dengan cara halal, biar sedikit asal berkah. "Buat apa membawa uang banyak, tapi tidak barokah. Sebab uang atau barang itu, bukan milik kita," kata Choiri dalam perbincangan dengan merdeka.com, Sabtu (12/1) malam.

Cerita kejujuran Mat Choiri ini terjadi pada November 2012 lalu. Ketika itu salah satu pelanggan meminta dia mengirimkan barang belanjaan. Mat Choiri mengungkapkan, saat kejadian, dirinya sudah mencari si pemilik barang belanjaan, tapi tidak ketemu. Akhirnya dia terpaksa menitipkannya ke petugas di supermarket yang berada tidak jauh dari bekas Penjara Kalisosok tersebut.

"Saya sudah mencarinya tapi tidak ketemu juga. Malah kata teman-teman, pemiliknya nyari saya ke sini (pangkalan becak Giant). Terus sama teman-teman diantar ke petugas Giant untuk mengambil barangnya," tutur Choiri.

Bukan cuma sekali itu Pak Choiri mengembalikan barang milik penumpangnya itu, sahut Achmad, rekan seprofesi Choiri, bulan kemarin dia juga mengembalikan belanjaan penumpang. "Malah yang punya barang angkatan laut (anggota TNI AL). Trus saya bilang ke orangnya, kalau di sini, nggak ada istilah barang hilang atau ketinggalan. Kalau ada barang ketinggalan di becak, pasti dititipkan ke petugas Giant, silakan dicari dulu ke sana," kata Achmad bercerita.

Soal kejujuran, Mat Choiri menyatakan itu sebagai sikap hidupnya yang tak bisa ditawar-tawar lagi. "Makanan yang kita peroleh dengan cara tidak halal, itu ibaratnya seperti api. Makanan itu masuk dalam darah kita, kemudian membakar kebaikan yang ada dalam diri kita, sehingga bisa mempengaruhi akal sehat kita untuk terus mencari memakan barang-barang yang bukan milik kita," terang Choiri dengan kata-kata bijak yang biasa dia dengar dari tokoh agama.

Makanya, dia menolak keras uang atau barang yang diperolehnya dengan cara tidak halal. Bahkan, sifat kejujurannya itu, juga dia tanamkan kepada keluarganya. "Biar kejujuran ini bisa tetap terjaga di keluarga saya, saya mendidik anak-anak saya hidup sesuai aturan agama," katanya.

Meski setiap hari, kata Choiri melanjutkan ceritanya, rata-rata hanya membawa pulang uang Rp 50 ribu, toh saya masih bisa memberi makan keluarga dan menyekolahkan kedua anak ke pesantren agar pendidikan agama mereka kuat nantinya.

"Itu kalau lagi banyak penumpang, kalau pas lagi sepi, ya saya dan teman-teman hanya bawa uang Rp 15 ribu sampai 25 ribu rupiah saja. Tapi uang itu kan hasil keringat saya, bukan dari mencuri atau mengambil milik orang," tuturnya.

"Tapi ya sudahlah, sahut Choiri lagi, nggak usah mengingat-ingat semua kebaikan yang kita lakukan. Nanti malah kita jadi ria. Kalau kita ikhlas bekerja, dan berbuat baik enggak usah diingat-ingat," tutup Choiri sembari mengingatkan Achmad.

Cerita kejujuran Mat Choirie ini menjadi pembicaraan warga Surabaya ketika pada 10 November tahun lalu, pelanggan Giant Rajawali yang bernama Siti Rukmi, warga Wonokusumo Jaya, Surabaya menulis dalam sebuah surat pembaca di salah satu surat kabar:

Pada Sabtu, 10 November 2012, saya belanja di Giant Rajawali. Berhubung becak langganan berhalangan, saya gunakan jasa becak di depan Giant untuk mengantar belanjaan saya. Saya tunggu hingga malam, becak tersebut tidak kunjung datang.

Saya juga lupa menanyakan identitas tukang becak tersebut. Besoknya saya ke Giant untuk menanyakan hal itu. Puji syukur masih rezeki, ternyata barang belanjaan saya dititipkan oleh tukang becak tersebut ke Giant dan kembali utuh. Rupanya, tukang becak itu nyasar dan tidak menemukan alamat saya. Akhirnya, saya tahu bahwa tukang becak tersebut bernama Mat Choiri. Terima kasih Pak Mat Choiri.