Eyang Subur, yang disebut-sebut sebagai "orang pintar" dari kawasan
Tanjung Duren, Jakarta Barat, serta-merta dirayakan oleh media massa
cetak dan elektronika sebagai heboh. Ada apa di balik gaduh seputar
warta heboh Eyang Subur?
Khalayak pembaca dan pemirsa dalam hitungan detik menjatuhkan palu godam
pernyataan sebagai jawaban atas pertanyaan seputar heboh Eyang Subur.
Dengan menggunakan logat wicara keseharian, tercetus pernyataan sarat
keheranan, "Hari gini, hari gini...masih ada yang percaya hal seperti
itu?"
Berangkat dari kesaksian sejumlah artis yang mengaku pernah berhubungan
dengan Eyang Subur, media massa menghidup-hidupkan gejala "dunia lain"
itu sebagai heboh, artinya sesuatu yang menggegerkan dan menggetarkan
lantaran mengusik rasa ingin tahu pembaca.
Kosa kata "orang pintar", "dunia lain", "dunia mistik", "dunia gaib"
seumpama energi listrik. Energi listrik mempunyai power untuk menyalakan
lampu, namun tidak ada yang sungguh melihat wujud energi listrik itu
seperti apa.
Kosa kata yang mengitari heboh Eyang Subur lantas mengerek pemahaman
pembaca bahwa ada seseorang yang dipercaya punya anugerah khusus untuk
mampu melihat hal-hal yang tidak kelihatan. Yang gaib, lantas diharapkan
bertuah bagi kehidupan, tanpa menyertakan usaha kerja.
Dalam kehidupan Jakarta yang sarat kompetisi bisnis, ada beberapa
ungkapan sohor, antara lain ingin bisnis anda melesat, jangan lupa
sesajen ke gunung ini, ke gunung itu. Ingin karier politik melesat,
silakan mendatangi orang pintar bernama XYZ.
Di dunia artis, ada sejumlah pengakuan wicara dari mujarab Eyang Subur.
"Saya anggap Eyang orangtua, saya silahturahmi aja nggak ada maksud
lain. Saya tidak pernah menganggap Eyang itu guru. Eyang memang waktu
itu saya lihat punya kharisma," kata artis serbabisa Dorce Gamalama.
Ada juga pengakuan dari seorang pegawai swasta yang mengaku menjadi
murid Eyang Subur sejak 1995 hingga 2005, Joko Triono. Ia mengungkapkan
bahwa korban Eyang Subur ada yang berasal dari kalangan pejabat dan
militer, meski pada akhirnya sinyalemen itu musykil dibuktikan.
Heboh Eyang Subur tersembul ke permukaan ketika Adi Bing Slamet dan
sejumlah korban dari Eyang Subur menyatakan kesaksian seputar ajaran
sesat dan segepok perlakuan merugikan dari Eyang Subur.
"Saya di sini bersama teman-teman yang punya pengalaman yang sangat
pahit. Kita dibikin sesat sesesat-sesatnya," kata Adi ketika ditemui di
daerah Cilanda, Jakarta Selatan.
Ungkapan sesat sesesat-sesatnya kemudian dibingkai dengan sejumlah
perilaku yang merugikan, antara lain sang korban dibikin gila, dibuat
mau jatuh dari ketinggian, diminta agar menyerahkan sejumlah harta
kepada sosok yang dianggap berkharisma itu, dijadikan istri oleh orang
yang disebut-sebut punya kekuatan mistik, bahkan dilarang beribadah
menurut tatacara agamanya.
Di satu sisi, media massa yang memegang dogma bahwa pembaca kerapkali
mencari dan menyenangi segala sesuatu dari dunia sarat spekulasi, dunia
yang tidak bisa dicari ujung pangkal kebenarannya.
Di sisi lain, media massa berkewajiban "mengilmiahkan apa yang
masyarakat alami dan rasakan dalam kehidupan keseharian", artinya media
massa hendaknya tidak terjerambab dalam dunia perdukunan yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan oleh akal budi.
Bukankah misi suci dari media massa, salah satunya mengomunikasikan segala pengalaman masyarakat dalam bingkai rasionalitas?
Di balik heboh sosok itu, siapa sebenarnya Eyang Subur? Di mata pelawak
Tessy, pria tua itu bukanlah dukun. "Aslinya dia itu tukang jahit," kata
anggota kelompok lawak Srimulat itu. "Setahu saya, kalau teman-teman
datang ke rumahnya di waktu magrib, Eyang Subur malah suruh salat."
Pengakuan serupa juga dikemukakan oleh anggota Srimulat lainnya, Gogon
yang mengenal Subur sejak 1983. "Kami tidak pernah disyarati dan saya
tak pernah meminta supaya terkenal," katanya.
Sementara paranormal Permadi membantah bahwa Subur adalah dukun. Tempat
kediaman Eyang Subur hanya menyerupai dengan kasepuhan. Di sana mereka
membahas dan membicarakan penyakit, agama, dan negara.
Nah, ketika media massa menyoroti heboh soal Eyang Subur, maka yang
dijadikan sasaran liputan yakni soal-soal sihir. Sihir dalam arti
sebenarnya yakni suatu teknik yang gaib untuk menguasai alam, menguasai
orang, malahan menguasai Yang Ilahi.
Menurut amatan ahli filsafat agama, Nico Syukur Dister OFM dalam bukunya
Pengalaman dan Motivasi Beragama, sihir dalam arti sebenarnya bukanlah
agama, karena sudah dilepaskan dari konteks religiusnya, sehingga
berdiri sendiri sebagai semata-mata teknik penguasaan.
Dalam artikulasi "dunia lain", "dunia mistik", dan "dunia gaib", ada pihak yang menguasai, ada pihak yang dikuasai.
"Dunia lain", "dunia mistik", dan "dunia gaib", pada kenyataannya
merupakan campuran agama dan teknik imajinasi, yang senantiasa condong
merosot menjadi upaya untuk mencari untung dalam usaha menguasai pihak
lain. Istilah ngetrennya, "guna-guna".
Gejala serba mistik itu, di mata pembacaan ahli filsafat Franz
Magnis-Suseno SJ, ketika menulis mengenai pemikir politik Tan Malaka,
menulis bahwa alasan bangsa Indonesia terbelakang salah satunya karena
bangsa ini masih terperangkap dalam Logika Mistika.
Tan Malaka dalam karyanya Madilog menunjuk bahwa logika mistika adalah
logika gaib, maksudnya cara berpikir yang tidak menjelaskan segala apa
yang terjadi dalam dunia nyata dengan mencari sebab-musababnya dalam
dunia nyata, melainkan dengan mengembalikannya kepada perbuatan roh-roh
di alam alam gaib yang berada di belakang alam nyata.
Mereka yang masih dibelit oleh logika gaib dijamin tidak bisa merengkuh
kemajuan, karena ia mengharapkan segala kemajuan dari anugerah
kekuatan-kekuatan gaib. Inilah makna yang perlu dipegang oleh media
massa ketika mewartakan heboh soal Eyang Subur.
Kalau bangsa Indonesia hendak menjadi bangsa besar, maka ia harus
melepaskan dan melucuti kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan gaib,
kekuatan mistik dan segera menoleh dengan menggunakan ilmu pengetahuan.
Ini merupakan, "perkimpoian antara sains dan teknik", demikian Tan
Malaka dalam karyanya bertajuk Madilog. Caranya? dengan berpikir logis!
Menurut dia, berpikir logis secara sederhana berarti bahwa "persoalan
pasti dijawab dengan pasti pula". Bukankah tugas media massa mewartakan
segala persoalan agar menemukan jawaban-jawaban yang mendekati
kepastian? Media massa perlu bernalar logis, bukan bernalar magis.
Ketika media massa mengolah heboh Eyang Subur, maka media massa perlu melakukan pembedaan secara ketat dan terinci (distingsi).
Artinya? Media massa perlu membedakan antara yang nyata dengan yang
khayal, antara yang pasti dengan yang meragukan, yang tepat dengan yang
kabur, antara hal yang berguna dengan hal yang sia-sia.
Ketika media massa memberitakan dan menayangkan segala warta yang
bernuansa "dunia lain", "dunia mistik", dan "dunia gaib", maka media
massa sedang memiskinkan dan mengosongkan makna hidup manusia atau
menjadikan manusia semata-mata alat belaka.
Ketika memaknai heboh Eyang Subur, maka media massa dituntut memberi
rasa kepastian (sense of certainty), bukan justru menyajikan hal-hal
yang serba tidak pasti.
Secara kelakar, "persoalan pasti dijawab dengan pasti pula" kerapkali
mengganggu mereka yang punya kuasa di kantor pemerintah atau swasta, di
birokrasi pemerintah atau swasta. Salah satu jawabnya, jangan ada hantu
di hati Anda.
Sumber